Bulan Juni sudah berakhir, tapi hujannya masih saja betah berderai berbarengan dengan postingan yang sarat akan konotasi melankolis di beranda media sosial ku petang itu. Sepertinya puisi “Hujan Di Bulan Juni” karya Pak Sapardi Djoko Damono bet 10 akan terus berlanjut dibulan-bulan berikutnya.
Ditengah kondisi PPKM ketika ini, semacam itu menarik bagiku melihat postingan status dimedia sosial, sekadar menghibur diri dan mengusir kejenuhan melaksanakan tugas akhir. Coba lihat! berapa banyak kutipan puitis yang dapat kau dapatkan dari status media sosial hari ini?! Banyak bukan?
Malah tidak sedikit yang mencoba merangkai sendiri kalimatnya supaya tampak romantis maupun memamerkan kegundahan hatinya untuk menarik simpati lawan variasi. Bagiku itu tidak apa, media sosial hari inikan toh telah multifungsi, tergantung dari niat si penggunanya. Memang asik melihat fase pertumbuhan seorang remaja menuju dewasa dalam memakai akun media sosialnya. Bukannya sok tua atau merasa lebih dewasa. Hingga hari ini aku masih percaya, dalam dunia akademis penggolongan umur tak menjadi permasalahan yang krusial.
Perkembangan teknologi komputerisasi memanglah suatu kecanggihan peradaban yang tak dapat kita tolak. Apalagi dalam masa pandemi seperti kini semuanya serba komputerisasi dan virtual. Interaksi lantas antar manusia kian terbatas. Aku tak dapat bayangkan alangkah Bete’nya orang-orang sebelumnya via pandemi ketika dunia dilanda momen Black death. Sedikit beruntunglah kita, mempunyai teknologi yang dapat memberikan hiburan untuk menjaga kewarasan.
Nahh kembali pada status dimedia sosial tadi, mari kita observasi ketika pergantian waktu. Di Petang hari memasuki Maghrib terdapat rentan waktu yang paling banyak digemari oleh ramaja, apa itu? Yahh benar pada ketika senja, waktu dimana sang langit berwarna jingga merona nan menarik hati menawarkan estetika bagi siapa saja yang memandangnya. Di waktu hal yang demikian perhatikanlah cuitan status yang beterbangan di media sosial. Tiba-tiba ada yang menjadi puitis dan ada juga yang galaunya hingga ke ubun-ubun. Langsung apa yang menarik? Tak lain yaitu pengalaman emosionil remaja yang menulis kalimat-kalimat hal yang demikian. Barangkali dari mereka ada yang sedang patah hati, menulis puisi-puisi dengan kalimat bersayap seperti Gibran yang terus mengalami pahitnya pengalaman cinta. Melainkan itulah realitas pengalaman dari remaja tadi.
Karenanya dari itu, aku berharap ikut serta ikut serta-ikutan juga. Peduli setan dengan kata orang. Kali ini perihal puisi karya Pak Sapardi Djoko Damono tetapi bukan Hujan di bulan Juni sebab bulan juninya sudah berakhir sedangkan masih menyisahkan hujan dan asmara-asmara yang mendalam. Siapa yang tidak mengetahui penulis sekaliber beliau. “Yaitu Fana Aku Waktu” dan “Berkeinginan Secara” yaitu dua judul puisi Pak Sapardi yang membingungkan hati dan pikiran ku, entah apa maunya beliau ini.
“Yaitu fana yaitu waktu, Kita kekal, memungut detik demi detik, Merangkainya seperti bunga, hingga suatu hari kita lupa untuk apa.” Puisi ini betul-betul membikin habis pikiran ku, terutama slot garansi lagi saat membaca kalimat akibatnya. Seolah-olah aku diangkat ke khayangan lalu dihempaskan turun ke bumi tanpa pegangan.
Aku lagi, “Berkeinginan mau mencintai mu dengan simpel, dengan kata yang tidak sempat diungkapkan kayu terhadap api yang menjadikannya abu. Berkeinginan mau mencintaimu dengan simpel, dengan isyarat yang tidak sempat disajikan awan terhadap hujan yang menjadikannya tiada.”
Cinta yang sesimpel apa rela dibakar sampai menjadi abu? Tanpa isyarat apa saja kemudian sirna semacam itu saja, pikir ku. Aku mencoba menyentuh-raba benang kusut dari dua puisi diatas tapi tidak hingga nalar ku, biarlah menjadi bahan renungan buat ku. Kendati demikian, Puisi-puisi diatas menegaskan kecakapan pak Sapardi menangkap terperinci-terperinci realitas dalam kehidupan. Puisi-puisi hal yang demikian sekarang menemukan wajah barunya dalam format komputerisasi maupun virtual dimedia sosial yang dianggap menjadi representatif keadaan emosionil seseorang. Seolah-olah mengoreksi ramalan Engels perihal masa dimana akan terjadi pemindahan ruang-ruang keintiman dalam kehidupan para buruh di London.
Ruang intim yang aku pahami dari ungkapan Engels yaitu daerah dimana para buruh industri dapat bercakap perihal kehidupan dan pengalaman emosionil sehari-harinya, yang mana keadaan hal yang demikian cuma dapat ditemukan di meja makan simpel slot bet 200 yang terbuat dari kayu ketika merasakan hidangan makan malam bersama keluarganya. Ruang intim itu sekarang berwajah baru, berwajah komputerisasi, berwajah virtual. Pengalaman emosionil seseorang sekarang dapat kita nikmati dari status-statusnya dimedia sosial.